Beranda | Artikel
Ijazah Palsu Untuk Kerja
Selasa, 1 April 2014

Ada dua jenis orang dengan dua kasus yang harus kita bedakan karena keduanya memiliki konsekuensi hukum yang berbeda.

Yang pertama adalah permasalahan curang dalam ujian atau membeli ijazah palsu. Artinya ada orang yang ingin melakukan pelanggaran syariat dalam bentuk curang dalam ujian atau memalsukan ijazah. Ijazah palsu tentu saja tidak bisa didapatkan melainkan dengan uang suap.

Dalam hal ini, tidaklah mungkin secara syariat kita katakan kepada orang tersebut, lakukan pelanggaran, terjanglah hal yang dilarang kemudian setelah itu bertaubatlah dan laksanakan pekerjaanmu sebagaimana mestinya. Karena orang ini akan melakukan hal yang terlarang padahal hal yang terlarang harus ditinggalkan tanpa menimbang apa yang akan dilakukan orang tersebut setelah melakukan pelanggaran syariat.

Satu hal yang terlarang dalam syariat itu tidak mungkin berubah menjadi boleh dan halal meski pelakunya bermaksud dengan pelanggaran syariat tersebut untuk mewujudkan hal yang disyariatkan ataupun hal yang bernilai ibadah. Orang semacam ini tak ubahnya pencuri yang mencuri dengan tujuan bersedekah dengan hasil curiannya lantas meminta maaf kepada orang yang dicuri. Tindakan semacam ini jelas adalah kebatilan yang nyata, karena Allah tidaklah memerintahkan kemaksiatan. Allah Ta’ala berfirman,

قل إن الله لا يأمر بالفحشاء

“Katakanlah sesungguhnya Allah itu tidaklah memerintahkan untuk melakukan perbuatan yang keji.” (QS. Al A’raf: 28)

Kedua adalah orang yang dulu melakukan pelanggaran lalu sekarang merasa bersalah padahal karena pelanggarannya tersebut dia telah mendapatkan pekerjaan. Dalam pekerjaannya dia bisa bekerja dengan baik bahkan lebih baik daripada teman-teman kerjanya yang memiliki ijazah tanpa melakukan kecurangan dan tidak menggunakan ijazah palsu. Apakah gaji orang ini tidak halal, padahal dia bisa melaksanakan pekerjaannya secara baik menimbang masa lalunya yaitu mendapatkan pekerjaan tersebut tanpa melalui jalan yang benar? Lantas kita katakan kepada teman kerjanya yang memiliki ijazah asli tanpa pernah mencontek namun suka korupsi waktu dalam kerja dan etos kerjanya pun amburadul bahwa gaji Anda halal karena ijazah Anda asli dan bersih dari noda?

Tentu hal di atas adalah suatu hal yang tidak benar. Gaji itu upah untuk kerja bukan upah untuk ijazah. Ijazah itu menjadi syarat melamar pekerjaan bukan karena semata-mata ijazahnya, namun pada umumnya ijazah adalah sarana untuk mengetahui layak atau tidaknya pemegang ijazah untuk melakukan suatu pekerjaan. Jika seorang itu layak dengan suatu pekerjaan tanpa melalui ijazah namun dengan pengalaman maka kita telah mewujudkan maksud dan maslahat yang diharapkan.
Pertimbangan maqasid syariat terkait maslahat dan mafsadat mengatakan selama pekerjaan tersebut dilaksanakan sebagaimana mestinya, maka upah yang didapatkan adalah halal. Namun jika seorang itu melakukan kecurangan dalam pekerjaannya, maka Allah telah berfirman yang artinya “Celakalah orang orang yang curang.” (QS. Al Muthaffifin:1) meski ijazahnya asli dan bersih.

Lain halnya, jika gaji itu untuk ijazah itu sendiri. Pihak yang mempekerjakan mengatakan, “Jika dia memiliki ijazah s3, maka untuknya gajian sekian untuk ijazah yang dia miliki baik dia bekerja atau pun tidak”. Jika demikian kontrak kerjanya, maka pemilik ijazah palsu gajinya tidak halal meski dia bekerja dengan baik. Sedangkan pemilik ijazah asli gajinya halal meski dia bekerja seenaknya.

Pernyataan halalnya gaji orang yang mengalami kasus kedua bukanlah pernyataan yang memotivasi orang untuk berlaku curang demi mendapatkan ijazah karena seorang muslim yang mengetahui bahwa curang atau mencontek dalam ujian itu hukumnya haram itu sudah cukup untuk membuatnya berhenti dan meninggalkan perbuatan tersebut, tidak perlu uraian selainnya meski terdapat banyak godaan yang mendorong untuk menerjang larangan. Adanya banyak godaan dalam hati untuk melakukan maksiat tidaklah terhitung sebagai motivasi untuk melakukan maksiat.

Ketika Allah berfirman tentang khamr, “Tidakkah kalian berhenti?!” maka para shahabat pun mengatakan, “Kami berhenti”. Mereka tuangkan simpanan khamr mereka ke jalan jalan kota Madinah meski sebenarnya mereka menyukai khamr dan terbiasa dengannya bahkan mendapatkan keuntungan finansial karenanya.

Sedangkan orang yang dulunya berbuat maksiat, melakukan pelanggaran dan tidak peduli dengan larangan Allah, kemudian pelanggaran syariat tersebut berdampak lantas orang tersebut ingin mengetahui hukum dari dampak tersebut setelah dia menyadari kesalahannya, maka kepastian hukumnya itu dengan menimbang berbagai dalil syariat yang ada.
Syariat sering kali mengakui keabsahan dampak dari perbuatan yang terlarang dalam rangka menjaga hak orang yang punya hak. Di antara contohnya adalah:

Pertama, pernikahan yang tidak sah dan terlarang syariat mengakui dampak hukumnya meski pernikahan tersebut tidak sah. Syariat menetapkan bahwa pihak wanita dalam kasus ini wajib mendapatkan mahar setelah dia disetubuhi dalam pernikahan yang tidak sah ini karena dia telah ‘menyerahkan’ dirinya. Ketentuan hukum semacam ini tidaklah tergolong motivasi untuk melakukan akad nikah yang tidak sah.

Kedua, orang yang merampas harta orang lain atau mencuri atau mendapatkan harta yang haram dari jualan khamr, ganja atau suap lantas harta haram yang dia pegang tersebut dia investasikan dalam perdagangan yang halal dengan transaksi yang sah, lantas orang tersebut mendapatkan keuntungan yang besar darinya maka untuk kasus ini mayoritas ulama fikih mengatakan bahwa keuntungan tersebut halal baginya karena orang tersebut punya tanggung jawab untuk menjaga keutuhan harta haram yang dia pegang sedangkan keuntungan tersebut dia dapatkan dari jerih payahnya padahal Nabi bersabda,

الخراج بالضمان

“Keuntungan itu menjadi hak orang yang bertanggung jawab atas suatu harta.” (HR. Tirmidzi no 1285 dan beliau mengatakan, “Hadis hasan shahih”).

Ketentuan hukum semacam ini tidaklah tergolong memotivasi untuk melakukan perampasan harta orang lain tidak pula motivasi untuk melakukan profesi yang haram.

Contoh pembanding dalam masalah ini adalah orang yang mendapatkan SIM dengan cara yang tidak legal dan dia memang memiliki kemampuan untuk menyopir kendaraan dengan baik apakah kita katakan kepada orang tersebut “Anda haram menyopir mobil karena SIM yang Anda dapatkan itu Anda dapatkan dengan cara yang tidak benar”. Sedangkan orang lain yang mendapatkan SIM secara legal namun dia tidak bisa mengendarai mobil dengan baik akankah kita katakan kepadanya “Anda boleh ngebut dan ugal-ugalan di jalan karena Anda memiliki SIM secara prosedural tanpa suap tanpa curang?!”
Andai ada seorang yang memasuki suatu negara dengan dokumen dokumen palsu lantas dia bekerja di negara tersebut akankah kita katakan kepadanya “Anda tidak berhak atas gaji karena gaji ini adalah dampak dari dokumen palsu yang Anda pakai. Dokumen palsu tersebutlah yang mengantarkan Anda kepada pekerjaan ini. Andai tanpa dokumen palsu tersebut tentu Anda tidak akan mendapatkan pekerjaan ini. Dampak dari yang jelek adalah kejelekan. Demikian yang dikatakan oleh banyak orang”.

Seandainya ada kesalahan administrasi di bagian kepegawaian atau personalia sehingga ada kenaikan jabatan untuk seseorang yang seharusnya tidak mendapatkannya sehingga hal ini menyebabkan orang yang lebih berhak dipromosikan itu dizalimi dan dilanggar haknya. Apakah tunjangan baru yang didapatkan oleh pegawai yang seharusnya belum mendapatkan kenaikan jabatan itu hukumnya haram, dengan alasan pengangkatan dirinya itu tidak prosedural karena pengangkatan dirinya itu melanggar hak orang lain dan tunjungan yang dia dapatkan itu tidaklah halal melainkan jika pengangkatannya itu prosedural?!

Andai ada orang yang utang ke bank lantas uang utangan tersebut dia pergunakan untuk membeli rumah atau tanah dengan transaksi jual beli yang sah. Kemudian rumah atau tanah tersebut dia jual kembali dengan keuntungan yang berlipat-lipat. Akankah kita katakan bahwa keuntungan tersebut tidak halal karena modalnya dari utangan bank dan menyatakan halalnya keuntungan tersebut adalah memotivasi si pelaku untuk terus berbuat maksiat dan terus berutang ke bank dengan sistem riba? Lantas juga kita katakan, tidak boleh bagi siapa pun untuk membeli rumah atau tanah tersebut karena ini pun tergolong memotivasi untuk melakukan kemaksiatan?

Tidak demikian yang dikatakan oleh para ulama. Imam Malik mengatakan,

من بيده مال حرام، فاشترى به دارا، من غير أن يُكْره على البيع أحدا فلا بأس أن تشتري منه أنت تلك الدار التي اشتراها بالمال الحرام

“Siapa saja yang memegang harta yang haram lantas harta yang haram tersebut dia pergunakan untuk membeli rumah tanpa memaksa pihak manapun untuk melakukan transaksi jual beli dengannya, maka tidaklah mengapa jika Anda membeli rumah tersebut. Rumah yang sebenarnya dia miliki dengan menggunakan harta yang haram.” (Al Mi’yar, 12:66).

Dalam kitab An Nawadir karya Ibnu Abi Zaid melalui riwayat Isa dari Ibnu Qasim, Imam Malik mengatakan,

من باع جلود ميتة وابتاع بالثمن غنما فنمت ثم تاب، فليتصدق بثمن الجلود لا بالغنم، قال عيسى: فيرد الثمن إلى من ابتاع منه الجلود أو إلى ورثته فإن لم يجدهم تصدق بذلك

“Siapa saja yang menjual kulit bangkai lantas uang hasil penjualannya dia pergunakan untuk membeli kambing dan akhirnya kambing tersebut beranak pinak. Setelah dia bertaubat dia berkewajiban untuk bersedekah senilai harga penjualan kulit, bukan seharga kambing.” Isa mengatakan, “Uang senilai hasil penjualan kulit tersebut dia kembalikan kepada pembeli kulit bangkai tersebut atau ahli warisnya jika tidak dijumpai maka uang tersebut disedekahkan.” (An Nawadir waz Ziyadat, 6:184).

Baca juga Al Bayan wat Tahshil 7:444 dan Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah, 29:308.

Melamar pekerjaan dengan ijazah palsu adalah perbuatan yang tidak diperbolehkan oleh agama karena pemalsuan hukumnya adalah haram. Demikian pula kolusi yang menyebabkan orang yang tidak kapabel diberi jabatan yang lebih tinggi sehingga orang yang lebih layak menduduki pekerjaan tersebut malah tidak mendapatkannya adalah perbuatan yang terlarang karena di dalamnya terdapat pelanggaran hak orang lain, tidak amanah dan tidak menghendaki kebaikan untuk masyarakat yang dilayani.

Akan tetapi jika sudah terlanjur terjadi, siapa saja yang bisa bekerja dengan baik sebagaimana mestinya maka dia berhak mendapatkan gaji namun dia berkewajiban untuk bertaubat dan membersihkan gaji yang dia dapatkan dengan cara mengerahkan seluruh kemampuannya alias totalitas dalam bekerja dalam rangka memberi pelayanan kepada masyarakat kaum muslimin.

Sumber: Tanasuh.com

Catatan:
Fatwa Syaikh Dr Shadiq bin Abdurrahman al Ghirbani dia atas adalah tepat untuk pekerjaan yang menjadikan persyaratan ijazah sekedar formalitas. Sedangkan pekerjaan yang menjadikan ijazah sebagai pesyaratan mutlak semisal PNS di tempat kita maka yang tepat adalah penjelasan yang ada di sini: https://pengusahamuslim.com/bila-ijazah-hasil-mencontek-untuk-kerja

karena sebagian gaji PNS itu adalah gaji untuk ijazahnya. Wallahu a’lam.

Artikel www.PengusahaMuslim.com


Artikel asli: https://pengusahamuslim.com/2876-ijazah-palsu-untuk-1529.html